BANJIR DI JAKARTA DAN SOLUSINYA
Banjir
yang melanda Jakarta umumnya disebabkan oleh banjir kiriman dari Bogor atau
hujan lokal yang sangat deras dengan waktu lama antara 1-3 hari. Ada pun banjir
karena pasang laut boleh dikata agak jarang dan hanya melanda kawasan tertentu
di pesisir (Jakarta Utara seperti Rawa Buaya) jika ada tanggul yang jebol.
Boleh di kata kawasan banjir Cawang, Kampung Melayu, bahkan jalan tol
Cengkareng terlepas dari banjir pasang laut karena posisinya yang lebih tinggi
dari permukaan laut.
Banjir
karena pasang laut hanya bisa dihindari dengan pengadaan tanggul yang kuat dan
menyeluruh tanpa celah sedikit pun bagi air laut masuk ke darat. Meliputi
pesisir pantai dan juga pinggiran sungai yang posisinya masih di bawah permukaan
laut.
Dua minggu setelah banjir di Jatinegara
air Ciliwung masih tinggi sementara di Matraman dasar sungai terlihat karena
pintu air di Manggarai tertutup
Ada pun
banjir karena hujan, jika aliran sungai mengalir lancar dan drainase (kanal
buatan) mengalir dengan baik hingga ke laut bisa dicegah. Tapi ini artinya air
tawar yang berharga sia-sia terbuang ke laut. Akan lebih baik lagi pemerintah
memperdalam sungai, membuat bendungan atau mengambil alih situ/danau yang ada
untuk menampung kelebihan air hujan tersebut.
Kali Ciliwung setelah pintu Air
Manggarai di jalan Matraman-Proklamasi dasar sungainya terlihat
Banjir
pada tanggal 1 Februari 2008 yang menggenangi jalan Jenderal Thamrin hingga 1
meter sebenarnya menunjukkan adanya perbaikan kelancaran aliran air dibanding
banjir pada bulan Februari 2007 yang menenggelamkan daerah Cawang dan Kampung
Melayu antara 3-4 meter. Kenapa? Karena Cawang dan Kampung Melayu posisinya
berada di hulu atau lebih tinggi ketimbang jalan Thamrin.
Banjir di jalan Otista Raya Kampung
Melayu sejauh hampir 1 km pada Februari 2007
Pada
Februari 2007, wilayah hulu ini tenggelam sementara jalan Thamrin kering karena
pintu air Manggarai baik yang menuju Banjir Kanal Barat mau pun ke masjid
Istiqlal ditutup. Baru setelah Sutiyoso dan Jubir Presiden ribut masalah
pembukaan pintu Air Manggarai dan pintunya dibuka, maka banjir di Cawang dan
Kampung Melayu surut, sementara Monas dan Istana Negara tenggelam hingga 1
meter. Dua foto yang saya muat di mana Kali Ciliwung di Jatinegara yang
merupakan hulu airnya begitu dalam sementara Kali Ciliwung di Matraman yang
merupakan hilir justru lebih dangkal hingga dasarnya kelihatan menunjukkan
tidak lancarnya pengaturan air di Pintu Air Manggarai.
Pada
banjir 2008 ini pintu Air Manggarai yang menuju Banjir Kanal Barat yang
melintasi Jalan Sudirman dibuka, sehingga Jalan Thamrin dan Sudirman tergenang
air hingga 1 meter. Sebaliknya, wilayah Cawang dan Kampung Melayu sama sekali
tidak banjir (kecuali Kampung Pulo yang posisinya sangat rendah). Meski pintu
Air Manggarai yang menjurus ke kali Ciliwung (ke Matraman, Istiqlal, dan
seterusnya) tidak dibuka, namun ini menunjukkan sedikit perbaikan pada
pengaturan pintu air. Padahal kalau dibuka, meski banjir meluas, namun
tingginya tentu akan jauh berkurang karena lebih merata.
Penyebab
banjir di Cengkareng, terutama pada kilometer 24 dan 25 disebabkan karena
aliran air banjir tertahan di tanggul Perumahan Pantai Indah Kapuk. Sementara
waduk yang ada tidak cukup luas dan tertutup sehingga tidak mampu menampung air
banjir. Padahal jika bisa disalurkan ke drainase Cengkareng, air banjir bisa
dialirkan ke laut.
Jika
kita amati topografi Jakarta yang secara sederhana digambarkan di sini, umumnya
banjir terjadi karena adanya tanggul/bendungan yang menahan aliran air sehingga
tidak mengalir ke laut dan menggenang jadi banjir. Di antaranya Pintu Air
Manggarai yang menahan air Kali Ciliwung sehingga air menggenangi wilayah
Kalibata, Cawang, dan Kampung Melayu. Di utara ada Tanggul Pantai Indah Kapuk
yang menahan air banjir dari jalan Tol Cengkareng di kilometer 24 dan 25.
Menggusur
perumahan Pantai Indah Kapuk tentu sangat sulit. Namun pemerintah bisa
memperbaiki sistem drainase dengan memperdalam waduk yang ada dan
mengalirkannya ke kanal yang ada di sekitarnya.
Saat
ini pemerintah memperdalam sungai yang ada hanya menggunakan kendaraan darat
Excavator. Padahal kendaraan ini selain tidak praktis karena tidak semua
pinggiran sungai dapat dilalui juga daya angkutnya kecil.
Sudah
saatnya pemerintah membeli kapal keruk ringan untuk memperdalam sungai-sungai
yang ada di Jakarta dengan kedalaman minimal 7 meter. Jika sungai cukup dalam
dan lebar, maka volume sungai akan berlipat hingga 3 kali lipat sehingga
luas/tinggi genang banjir bisa dikurangi.
Foto
yang diambil di Matraman disamping Radio SBY menunjukkan Kali Ciliwung yang
begitu dangkal airnya sehingga dasar sungai terlihat hingga separuhnya.
Dalamnya kurang dari 1 meter dari permukaan tanah sehingga tidak mampu
menampung luapan banjir. Pemerintah harus mengeruk dasar kali Ciliwung dari
muara hingga ke hulu secara bertahap dengan memakai kapal keruk.
Jika
satu Kapal Keruk harganya sekitar Rp 5 milyar dan untuk mengeruk sungai-sungai
di Jakarta butuh 5 kapal keruk, maka hanya dibutuhkan biaya sekitar Rp 25
milyar untuk pengadaan Kapal Keruk dan total Rp 50-100 milyar untuk seluruh
biaya operasionalnya.
Lebih
baik menormalisasi sungai-sungai dan kanal yang ada dengan memelihara agar
lebar dan kedalamannya tetap terjaga ketimbang menghamburkan trilyunan rupiah
untuk pembangunan Banjir Kanal Timur yang tidak diikuti dengan pemeliharaan
sehingga akhirnya menjadi dangkal dan tidak berguna.
Ini
jauh lebih murah ketimbang membuat Banjir Kanal Timur yang selain biayanya
trilyunan rupiah juga mubazir jika pengaturan pintu airnya seperti sekarang
atau kanalnya dangkal lagi jika tidak pernah dikeruk.
Kedepan
juga perlu diperhatikan untuk memperluas daerah resapan air. Bukan hanya
membuat sumur resapan atau mengganti halaman semen dengan paving block, tapi
juga mempertimbangkan penggunaan rumah panggung di wilayah ibu kota. Ketika
kecil di Kalimantan Selatan, saya biasa tinggal di rumah panggung. Di bawah
rumah ada lumpur. Jika kita lempar pancing ke bawah rumah, kita bisa mendapat
ikan. Rumah panggung seperti ini bisa memperluas daerah resapan air. Saya lihat
di wilayah Jakarta Selatan ada juga rumah besar yang memakai sistem rumah
panggung di mana ikan-ikan bisa hidup di bawahnya.
Ada
yang mengusulkan agar Pemda DKI mengambil-alih situ/danau yang tersisa seperti
yang ada di daerah Cibubur dan sekitarnya sehingga bisa diperdalam dan
diperluas. Danau ini bisa jadi tempat peternakan ikan, pemancingan, wisata
perahu dayung dan memancing, serta restoran ikan dengan sistem rumah panggung.
Ada
bagusnya jika di beberapa tempat seperti Depok atau daerah langganan banjir
yang terparah seperti Kampung Pulo dibuat bendungan yang besar untuk menampung
air sekaligus pembangkit tenaga listrik sehingga bukan hanya mencegah banjir,
tapi juga memberi energi listrik bertenaga air. Tentu pemerintah harus
menyediakan rumah susun (misalnya Rusun Cawang) dan GANTI UNTUNG yang layak
bagi penduduk yang digusur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar